CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Jumat, 22 Agustus 2008

Perencanaan, Solusi Keruwetan Jakarta

Inilah.com, Jakarta - Beragam persoalan membelit Ibukota Jakarta. Sejak pendahulu Gubernur Fauzi Bowo, sebut saja di masa Ali Sadikin, ragam masalah pelik sudah dicarikan solusinya. Mulai dari banjir, kemacetan, ledakan penduduk, hingga tumpukan sampah yang menggunung.

Satu kata kunci untuk semua masalah itu, yakni perencanaan yang mengusung konsep berkelanjutan (sustainable development). Memang untuk fokus pada konsep perencanaan tidak semudah membalik telapak tangan. Namun pakar di bidang tata kota masih meyakini perencanaan sebagai kiblat kesuksesan membangun sebuah kota.
“Bicara pengembangan Jakarta, itu adalah sebuah peluang sekaligus tantangan besar. Kita punya banyak kesempatan yang rasanya sayang jika tidak dilakukan,” kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, Ahmad Djuhara, saat wawancara dengan Inilah.com, di Jakarta, kemarin.
Di sela-sela kesibukannya, lulusan Universitas Parahyangan Bandung tahun 1991 yang dikenal sebagai pencipta rumah baja tersebut memaparkan konsep perencanaan perkotaan yang berkelanjutan dan manfaatnya bagi kota sepadat Jakarta.
Berikut ini nukilan perbincangan Inilah.com dengan pemilik firma Djuhara-Djuhara yang didirikan bersama istrinya yang sama-sama menggeluti dunia arsitek.
Bagaimana iklim industri rancang bangun di tahun 2008?
Kita dihadapkan pada banyak ketidakpastian akibat minimnya perencanaan dalam pengembangan sebuah kota. Misalnya saja, berapa pertumbuhan penduduk Jakarta di tahun ini untuk dikomparasikan dengan rencana pembangunan wilayah.
Kota Paris tidak bisa disulap menjadi seperti sedemikian tertata rapi jika tidak ada campur tangan pakar perencana kota.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, saya coba merepresentasikan pemikiran profesional di bidang arsitek. Bukan seorang arsitek yang membuat terobosan atau perbaikan dalam pembangunan sebuah kota.
Ada pihak lain yang juga memiliki porsi peranan yakni pemerintah melalui arah kebijakannya. Selain tentunya perkembangan baik ditingkat lokal maupun global.
Di tataran kebijakan, sudah sepatutnya pemerintah menjalankan program penyediaan fasilitas perumahan bagi masyarakat. Khusus di Jakarta, persaingan dalam merebut minat pasar di segmen pembangunan.
Tidak terkecuali dalam bidang pengembangan pasar properti baik di subsektor hunian, maupun properti komersial berupa bangunan pencakar langit.
Beragam persoalan lingkungan mewabahi Kota Jakarta. Misalnya laju kepadatan penduduk yang tidak terkendali sehingga menjadi efek domino bagi lingkungan seperti produksi sampah yang terancam tidak terkelola.
Juga banjir yang setiap saat mengintai. Padahal, semua itu merupakan potensi yang – jika dikelola dengan baik – mampu menjadi nilai tambah bagi Ibu Kota.
Maksudnya?
Ya, dalam mengendalikan semua permasalahan terkait demografi Jakarta perlu solusi melalui pendekatan perencanaan perkotaan secara bijak.

Konkritnya seperti apa?
Misalnya dalam penanganan masalah banjir yang selalu melanda Jakarta perlu diterapkan kebijakan revitalisasi titik-titik rawan yang menjadi langganan banjir. Dalam bidang desain arsitektur semua itu bisa disederhanakan menggunakan logika-logika mendasar.
Untuk kasus banjir, pembangunan di suatu kawasan di area langganan banjir harus terbagi tiga. Sepertiga luas areal harus menyediakan area resapan berupa situ, sepertiga lagi untuk ruang terbuka hijau, dan sisanya adalah untuk hunian.
Jadi harus ada perombakan terhadap kawasan langganan banjir tersebut dengan pola pemadatan secara vertikal. Mungkin dalam penerapannya terkesan sangat kasar serta otoriter.
Tapi pemerintah harus bisa bersikap tegas terhadap kebijakan perencanaan. Itu demi perbaikan kualitas hidup masyarakat yang luar biasa padat seperti Jakarta.
Tantangan terberat dalam merealisasikan program perencanaan semacam itu adalah penolakan publik. Saat ini kepercayaan publik seolah sangat mahal karena masyarakat sudah sering dibohongi.
Untuk itu harus ada proyek percontohan sebagai kisah sukses untuk membuka mata masyarakat. Kalau menunggu kesediaan masyarakat Jakarta untuk mau beralih dari pemukiman mendatar yang kumuh kepada hunian vertikal, sudah pasti jawabnya tidak akan pernah siap.
Bukankah pemerintah sudah mulai menerapkan pola kebijakan semacam itu. Misalnya dengan memperkenalkan program pengembangan rumah susun sederhana (rusuna) di perkotaan untuk mengantisipasi ragam masalah lingkungan di kota besar?
Memang benar. Tapi menurut saya proyek rusuna saat ini belum menempatkan perencanaan sesuai porsinya. Artinya rusuna yang sedang dibangun saat ini belum mengandalkan kesesuaian antara desain, fungsi, serta konsep perencanaan yang berkelanjutan.
Saya khawatir dengan pola pengembangan yang dipakai di proyek rusuna saat ini, hanya akan memindahkan kekumuhan dari pemukiman mendatar ke rusuna. Tidak ada terobosan yang sesuai supaya rusuna mampu menciptakan keteraturan dan menghapus kesan kumuh dari pemukiman masyarakat kelas menengah bawah.
Rusuna memang program penyediaan rumah bagi masyarakat kelas bawah. Tapi bukan berarti dalam konteks pengembangannya tidak bisa menyajikan desain yang terbaik.
Bahkan di banyak kota besar di dunia, konsep pemukiman bagi kalangan menengah bawah masih dapat menampilkan kesan keteraturan serta estetika.
Lantas, apa yang mesti dilakukan dalam pembangunan rusuna di Indonesia?
Kalau boleh menilai, dalam desain rusuna belum menerapkan yang terbaik, karena prosedur pengembangannya relatif tidak bagus. Pemerintah mesti membuka peluang kepada publik untuk membuat desain yang terbaik bagi proyek rusuna.
Caranya bisa melalui sayembara untuk menemukan konsep terbaik. Kalau perlu, pengembangan diserahkan sepenuhnya kepada developer yang memiliki idealisme berkonsep sustainable (berkelanjutan). Tataran utamanya tentu adalah harus menguntungkan.
Pembangunan Jakarta yang sudah sangat padat harus lebih dipadatkan lagi. Pemadatan itu untuk mencegah pembangunan yang berpola pengembangan searah perimeter atau linier ke areal penyangga (urban sprawl).

0 komentar: